TUGAS KELOMPOK
ILMU BUDAYA DASAR
ISTILAH HUKUM TAJAM KEBAWAH
TUMPUL KEATAS
BIMA WAHYU : 11216435
MOHAMMAD ANNAS BM : 14216488
MUHAMMAD SIGIT A : 15216116
SAMIADJI : 16216801
FAKULTAS EKONOMI JURUSAN MANJEMEN
UNIVERSITAS GUNADRMA
2016/2017
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT
yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur
atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang keadilan dilihat
dari konteks hukum tajam kebawah tumpul keatas yang mengacu pada hukum di
Indonesia
Makalah ini telah kami susun
dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat
maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat terhadap pembaca tentang Keadilan dilihat dari konteks
hukum tajam kebawah tumpul keatas yang mengacu pada hukum di Indonesia.
Bekasi, 09 November 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Pendahuluan 4
Pengertian dan
Tujuan Hukum 5
Pengertian Keadilan 5
Istilah Hukum tajam
kebawah tumpul keatas 6
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Peranan hukum di dalam masyarakat
khususnya dalam menghadapi perubahan masyarakat perlu dikaji dalam rangka
mendorong terjadinya perubahan sosial. Pengaruh peranan hukum ini bisa bersifat
langsung dan tidak langsung atau signifikan atau tidak. Hukum memiliki pengaruh
yang tidak langsung dalam mendorong munculnya perubahan sosial pada pembentukan
lembaga kemasyarakatan tertentu yang berpengaruh langsung terhadap masyarakat.
Di sisi lain, hukum membentuk atau mengubah institusi pokok atau lembaga
kemasyarakatan yang penting, maka terjadi pengaruh langsung, yang kemudian
sering disebut hukum digunakan sebagai alat untuk mengubah perilaku
masyarakat.
Hukum di Indonesia merupakan campuran
dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar
sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa
kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia
yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda
(Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia
menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama
di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga
berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat
dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara. Namun ada istiliah yang menyatakan Hukum di
Indonesia tajam kebawah tumpul keatas. Lalu dimanakah peran keadilan?.
B. Rumusan Masalah
a. Pengertian
Hukum
b. Pengertian Keadilan
c. Kenapa hukum di Indonesia tajam kebawah dan tumpul
keatas
C. Tujuan
Makalah
Dengan adanya makalah ini, para
mahasiswa diharapkan dapat mengetahui dan memahami hal-hal di bawah ini:
a. Mengetahui
Pengertian Hukum
b. Mengetahui
pengertian keadilan
c. Mengetahui
istilah hukum tajam kebawah tumpul keatas
BAB II
PEMBAHASAN
HUKUM
Pengertian Hukum
Hukum adalah suatu sistem yang dibuat manusia
untuk membatasi tingkah laku manusia agar tingkah laku manusia dapat terkontrol
, hukum adalah aspek terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian
kekuasaan kelembagaan, Hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya
kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu setiap masyarat berhak untuk
mendapat pembelaan didepan hukum sehingga dapat di artikan bahwa hukum adalah
peraturan atau ketentuan-ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur
kehidupan masyarakat dan menyediakan sangsi bagi pelanggarnya.
Tujuan Hukum
Tujuan hukum mempunyai sifat universal
seperti ketertiban, ketenteraman, kedamaian, kesejahteraan dan
kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya hukum maka
tiap perkara dapat di selesaikan melaui proses pengadilan dengan prantara hakim
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku,selain itu Hukum bertujuan untuk
menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak dapat menjadi hakim atas dirinya
sendiri.
KEADILAN
Pengertian Keadilan
Keadilan berasal dari istilah adil yang berasal dari bahasa Arab. Kata
adil berarti tengah, adapun pengertian adil adalah memberikan apa saja sesuai
dengan haknya. Keadilan berarti tidak berat sebelah, menempatkan sesuatu
ditengah-tengah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, tidak
sewenang-wenang. Keadilan juga memiliki pengertian lain yaitu suatu keadaan
dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara memperoleh apa yang menjadi
haknya sehingga dapat melaksanakan kewajibannya. Sedangkan Pengertian Keadilan Menurut Kamus Bahasa
Indonesia (KBBI) adalah
suatu hal yang tidak berat sebelah atau tidak memihak serta tidak
sewenang-wenang. Menurut kamus besar bahasa indonesia (KBBI) kata adil berasal
dari kata adil, adil mempunyai arti yaitu kejujuran, kelurusan, dan keikhlasan
yang tidak berat sebelah.
ISTILAH HUKUM DI INDONESIA TAJAM KEBAWAH TUMPUL
KEATAS
Istilah Hukum tajam ke bawah
namun tumpul ke atas ini mungkin sudah lumrah di masyarakat Indonesia saat ini
maksud dari istilah tersebut adalah salah satu sindiran nyata bahwa keadilan di
negeri ini lebih tajam menghukum masyarakat kelas menengah ke bawah, Coba
bandingkan dengan para Koruptor yang notabene adalah para penjabat kelas
ekonomi ke atas, baik mulai dari tingkat anggota DPRD kota hingga para mantan
menteri pun terjerat dengan kasus korupsi.
Sebenarnya ada banyak kasus
besar yang jelas-jelas merugikan negara karena ulah penggarong uang negara,
nasib kasusnya tidak jelas. Para koruptor bebas berlenggang, berleha-leha di
luar negeri, tidak tersentuh hukum. Yang
masih hangat baru-baru ini adalah Kisah yang dialami nenek Asyani (63) ini
benar-benar menggambarkan pepatah yang populer di masyarakat, hukum di negeri
ini tumpul ke atas, tajam ke bawah.
Asyani diseret ke Pengadilan
Negeri Situbondo Jawa Timur dengan tuduhan mencuri 38 papan kayu jati di lahan
Perhutani di Desa Jatibanteng, Situbondo. Saat menjalani persidangan ketiga
pada 12 Maret, Asyani sampai-sampai duduk bersimpuh dan menangis di depan
majelis hakim, memohon pengampunan. Sang pelapor Asyani, Sawin (mantri
Perhutani), tertegun melihat Asyani. Warga Dusun Kristal, Desa/Kecamatan
Jatibanteng, Situbondo, itu menjalani sidang dengan jadwal tanggapan jaksa atas
pembelaan kuasa hukum terdakwa. Mulanya, Asyani diam tertunduk mendengarkan tanggapan
jaksa penuntut umum, Ida Haryani, selama 30 menit.
Setelah jaksa penuntut
membacakan tanggapannya, Asyani langsung menangis histeris. Dia menuding Sawin,
yang berdiri di pintu samping ruang sidang. "Sawin, kamu yang tega
memenjarakan saya. Padahal saya sudah datang ke rumahmu untuk meminta maaf.
Kamu tega sama saya," tutur Asyani berteriak lalu terdiam setelah
ditenangkan oleh kuasa hukumnya, Supriyono. Asyani adalah tukang pijat. Dia
didakwa dengan Pasal 12 huruf d juncto Pasal 83 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan
ancaman hukuman penjara 5 tahun. Asyani dituduh mencuri 38 papan kayu jati di
lahan Perhutani di desa setempat. Asyani dilaporkan oleh sejumlah polisi hutan
ke Polsek Jatibanteng pada 4 Juli 2014. Nenek empat anak itu kemudian ditahan
pada 15 Desember 2014. Selain Asyani, tiga orang lain juga ikut ditahan, yakni
menantu Asyani, Ruslan; pemilik mobil pick up, Abdussalam; dan Sucipto, tukang
kayu.
Dalam tanggapannya, jaksa Ida
Haryani menuturkan pihaknya memiliki bukti-bukti kuat bahwa 38 papan kayu itu
memang diambil Asyani di lahan Perhutani. "Terdakwa tidak mampu
menunjukkan dokumen kepemilikan kayu tersebut," katanya. Supriyono
menyesalkan sikap jaksa itu, yang dinilainya terlalu formalistis dalam
menangani kasus tersebut. Padahal faktanya, kayu jati itu ditebang dari lahan
milik Asyani yang telah dijual pada 2010. "Ada surat keterangan kepala
desa kalau lahan tersebut dulunya milik Asyani," ucap Supriyono. Sebelumnya,
Asyani juga telah menyatakan itu secara langsung di hadapan majelis hakim
ketika memohon ampun. Menurut dia, kayu jati itu peninggalan suaminya yang
telah meninggal.
Lain lagi kasus menimpa Yusman
Telaumbanua digunung Sitolis Sumatera Utara, pengadilan setempat memvonisnya
dengan hukuman mati meski tergolong anak dibawah umur. Jika mengacu pada
undang-undang perlindungan anak terdakwa yang masih dibawah umur hanya
mendapatkan hukuman maksimal 10 tahun penjara, komisi untuk orang hilang dan
korban tindakan kekerasan KONTRA mengadukan kasus ini ke komisi yudisial. Hakim
dianggap mengesampingkan fakta dipengadilan meski mengetahui penyidik telah
memalsukan umur terdakwa.
Salah satu perwakilan KONTRA
mengatakan:"Salah satu terpidana yang bernama Yusman Telaumbanua itu pada
saat vonis ditahun 2013 itu diduga usianya masih dibawah umur". Kini yang
menjadi pertanyaan besar apakah masih ada sedikit keadilan bagi rakyat kecil?.
Akibat edukasi yang minim, kalangan menengah kebawah kerap dipermainkan oleh
aturan hukum. Setiap orang berhak mendapatakan perilaku yang sama didepan hukum
tanpa kecuali aparat penegak hukum harus bisa memberi bukti yang konkrit kepada
publik.
Sebuah Fakta Lembaga peradilan
kini sudah impoten, tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Pasal-pasal
KUHP bagi rakyat kecil ibarat peluru yang menghujam jantung, namun bagi para
petinggi hanyalah sebuah coretan yang termaktub dalam kitab. Hukum hanya
berlaku untuk mereka yang tidak mampu membayar pengacara. Bahkan kini KUHP
adalah singkatan dari “Kasih Uang Habis Perkara”. Dunia benar-benar sudah
terbalik. Kasus-kasus besar seperti korupsi dan kawan-kawannya dianggap kecil,
namun sebaliknya kasus-kasus sederhana yang mungkin bisa diselesaikan secara
kekeluargaan bahkan dibesar-besarkan.
Inilah dinamika hukum di
Indonesia, seolah sudah berganti paradigma yang menang adalah yang mempunyai
kekuasaan, yang mempunyai uang banyak, dan yang mempunyai kekuatan. Mereka
pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan negara dilanggar. Orang biasa seperti
Nenek Minah dan teman-temannya itu, yang hanya melakukan tindakan pencurian
kecil atau kejahatan perdata ringan langsung ditangkap dan dijebloskan ke
penjara. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang negara
milyaran rupiah dapat berkeliaran dengan bebasnya. Asas hukum bahwa “semua
orang diperlakukan sama di depan hukum” yang dipatenkan dalam Pasal 27 ayat (1)
UUD 1945, justru tidak diindahkan oleh aparat penegak hukum. Fakta itu terurai
secara telanjang.
Hukum Yang Berkasta
Beda golongan beda proses,
itulah yang ditemukan dalam kasus itu begitu cepatnya proses hukum berjalaan
terhadap orang orang kecil. Boleh jadi karena tidak punya kekuatan finansial
dan akses kekuasaan, sehingga yang bisa membantunya hanyalah pemberitaan media
massa dan opini publik. Sangat berbeda jika penyelenggara negara dan aparat
hukum yang terjerat korupsi, penanganannya sangat lamban.
Ada berbagai factor yang
menghambatnya bukan hanya karena ada faktor kekuatan politis yang
membentenginya, melainkan juga menciptakan penundaan proses hukum dengan segala
celah pembalikan opini di ruang publik. Penanganan kasus korupsi yang dilakukan
oleh institusi yang memiliki kewenangan besar dan dipercaya rakyat sekelas
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga bisa dibelokkan. Cara, memanfaatkan
celah hukum acara (hukum formil) yang sebetulnya tidak boleh ditafsirkan
melampaui (menyimpang) dari ketentuan yang sudah jelas dan tegas. Bagi yang
bertahta di kelas hukum gedongan, sebetulnya KPK tidak pernah gentar. Publik
melihat bagaimana KPK menjerat tiga menteri aktif pada masa pemerintahan lalu,
dua ketua umum partai politik, serta puluhan anggota DPR dan kepala daerah.
KPK seolah gagal merintis
ketajaman pedang keadilan hukum kembali tak mampu atau dibuat lumpuh sehingga
gagal menembus bangunan rumah kelas gedongan. Ketegasan, keberanian, dan
profesionalitas yang diukir dalam sejarah KPK, tentu tidak akan begitu gampang
dilumpuhkan sekiranya yang bersoal orang-orang kecil. Realitas hukum yang hanya
tajam ke bawah di tengah era keterbukaan sangatlah memprihatinkan. Hendak
dibawa ke mana penegakan hukum di tengah pengakuan bahwa demokrasi Indonesia
mendapat pujian dunia internasional. Proses hukum tak berdaya menghadapi orang
berpunya dan memiliki alur hubungan dengan elite kekuasaan, termasuk otoritas
hukum. Jika ada yang berani mengusik dengan bicara sembarangan atau tepatnya
mengkritik, siapsiaplah menghadapi tuntutan hukum.
Restorative Justice
Nampakmya kasus yang
ditimpakan kepada Nenek Asyani, koreksi terhadap realitas proses hukum yang
begitu tajam, boleh jadi hanya disikapi sebatas respons dan simpati.
Memang muncul sikap
keberpihakan berbagai kalangan pemerhati keadilan dan hak asasi manusia, tetapi
penerapan asas “semua orang sama di depan hukum” lebih banyak dianggap angin
lalu oleh otoritas penegakan hukum. Tak henti-hentinya digelorakan agar wajah
penegakan hukum tidak seharusnya melukai rasa keadilan masyarakat (keadilan
substantif).
Kenyataan realitas berkata
lain, lebih banyak elite kekuasaan dan petinggi penegak hukum bersikap
defensif, tidak berani berpihak pada rakyat kebanyakan. Seolah-olah rakyat
kecil hanyalah sekadar objek penegakan hukum seperti pada hukum rimba di hutan
belantara.
Kasus Nenek Minah yang dituduh
mencuri tiga biji kakao sehingga harus duduk di kursi pesakitan, adalah contoh
yang patut dijadikan pelajaran, meskipun dengan alasan penegakan hukum. Kenapa
aparat hukum sejak penyidikan tidak berani melakukan pendekatan “restorative
justice“ terhadap beragam kasus ringan yang ditimpakan kepada rakyat kecil
seperti pada Nenek Asyani?
Restorative justice adalah
pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan
keseimbangan bagi pelaku tindak pidana dan korban. Tidak selalu harus
berpedoman pada hukum normatif semata (hukum materiil), terutama pada tindak
pidana ringan yang ancaman pidananya juga ringan.
Kenapa tidak, sekiranya pelaku
dan korban pencurian bisa dibawa ke ruang keadilan restoratif, maka polisi bisa
menghentikan penyidikan, tidak harus sampai ke pengadilan. Hukum acara
seharusnya tidak selalu digunakan untuk memproses rakyat kecil yang melakukan
kriminal kecil dengan berbalut demi penegakan hukum. Tetapi semuanya terkesan
aneh karena justru akan dimandulkan dengan berbagai penafsiran jika kelas
gedongan yang bermasalah. Ukuran keberhasilan penegakan hukum tidak boleh hanya
mengacu pada banyaknya jumlah perkara yang diselesaikan, tetapi juga seberapa
besar kualitasnya.
Pada proses peradilan pidana
konvensional dikenal restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan
restorasi memiliki makna yang lebih luas yaitu pemulihan hubungan antara korban
dan pelaku. Hal itu bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan
pelaku. Konsep restorative justice memberi kesempatan bagi korban menghitung
kerugiannya, sedangkan pelaku memberikan ganti rugi. Maka itu, realitas hukum
“tajam ke bawah, tumpul ke atas” tidak harus mengalahkan penegakan hukum dalam
mencari keadilan.
HUKUM TUNDUK PADA KEKUASAAN
Bukan rahasia umum kondisi
hukum ketika berhadapan dengan orang yang memiliki kekuasaan, baik itu
kekuasaan politik maupun uang, maka hukum menjadi tumpul. Tetapi, ketika
berhadapan dengan orang lemah, yang tidak mempunyai kekuasaan dan sebagainya.
Hukum bisa sangat tajam. Hal ini terjadi karena proses hukum itu tidak berjalan
secara otomatis, tidak terukur bagaimana proses penegakan hukumnya. Seharusnya,
ketika ada kasus hukum kita bisa melihat dengan cara yang matematis.
Perbuatannya apa, bagaimana prosesnya, bagaimana proses pembuktiannya,
bagaimana keputusannya. Kalau ini diterapkan, proses penyelesaian hukumnya
pasti berjalan dengan baik. Tetapi, banyak anomali-anomali yang terjadi.
Misalnya kasus pencurian, tuduhannya pencurian, tetapi anomali yang terjadi
bisa saja berbeda atas kedudukan status sosialnya. Jika nanti kasusnya terjadi
kepada yang status sosial kalangan bawah, maka proses penegakan hukumnya cepat
dan mudah dalam penahanan. Namun sebaliknya jika terjadi pada orang yang status
sosialnya tinggi yaitu berkuasa dalam masalah keuangan dan politik. Inilah yang
menjadi problema dalam kasus seperti ini jangan sampai terulang kembali
kejadian dalam kasus ini sangat kontroversi, dan menyengsarakan masyrakat yang
tentunya dipertanyakan bahwa di manalah keadilan bagi “wong cilik”. Masyarakat
sering tidak percaya dengan proses hukum, nantinya masyarakat akan melihat
bahwa dalam melihat proses penegakan hukum ini bisa melihatnya dengan keadilan.
Dilihat dari perspektif hukum
yang pernah di jalani, sebenarnya bila ada laporan tentang sebuah kejadian yang
diduga sebagai tindak pidana, tugas polisi adalah mengumpulkan informasi atau
data yang masuk sebanyak-banyaknya, yang dapat dikategorikan sebagai alat bukti
atau barang bukti sehingga mengkonstruksikan apakah dari informasi dan data ini
atau dapat mengkonstruksikan pasal pidana. Selanjutnya dari anatominya yang
melihat unsur-unsur dari jaksa dan selanjutnya masuk dalam proses pengadilan.
Dalam proses penegakan hukum Terminologinya adalah “barangsiapa” jadi siapa
saja bisa mengalami proses hukum. Nanti jika yang menyangkut soal kepemilikan
dipersoalkan tersendiri.
Keadilan “hukum” bagi
kebanyakan masyarakat seperti barang mahal, sebaliknya barang murah bagi
segelintir orang. Keadilan hukum hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki
kekuatan dan akses politik serta ekonomi saja. Kondisi ini sesuai dengan
ilustrasi dari Donald Black (1976:21-23), ada kebenaran sebuah dalil, bahwa
Downward law is greater than upward. Maksudnya, tuntutan-tuntutan atau gugatan
oleh seseorang dari kelas “atas” atau kaya terhadap mereka yang berstatus
rendah atau miskin akan cenderung dinilai serius sehingga akan memperoleh
reaksi, namun tidak demikian yang sebaliknya. Kelompok atas lebih mudah
mengakses keadilan, sementara kelompok marginal atau miskin sangat sulit untuk
mendapatkannya (Wignjosoebroto, 2008:187).
Adanya Fenomena ketidakadilan
hukum ini terus terjadi dalam praktik hukum di negeri ini. Munculnya berbagai
aksi protes terhadap aparat penegak hukum di berbagai daerah, menunjukkan
sistem dan praktik hukum kita sedang bermasalah. Menurut Ahmad Ali (2005),
supremasi hukum dan keadilan hukum yang menjadi dambaan masyarakat tak pernah
terwujud dalam realitas riilnya. Keterpurukan hukum di Indonesia malah semakin
menjadi-jadi. Kepercayaan masyarakat terhadap law enforcement semakin memburuk.
Satjipto Rahardjo menyebutkan
ini sebagai bentuk krisis sosial yang menimpa aparat penegak “hukum” kita.
Berbagai hal yang muncul dalam kehidupan “hukum” kurang dapat dijelaskan dengan
baik. Keadaan ini yang kurang disadari dalam hubungannya dengan kehidupan hukum
di Indonesia (Rahardjo, 2010:17). Praktik-praktik penegakkan hukum yang
berlangsung, meskipun secara formal telah mendapat legitimasi hukum
(yuridis-formalistik), namun legitimasi moral dan sosial sangat lemah.
Banyak fakta Adanya diskriminasi perlakuan hukum antara mereka
yang memiliki uang dan yang tak memiliki uang, antara mereka ada yang berkuasa
dan yang tak punya kekuasaan. Keadilan bagi semua hanyalah kamuflase saja.
Namun, realita hukum terasa justru dibuat untuk menghancurkan masyarakat miskin
dan menyanjung kaum elit. Penegak hukum lebih banyak mengabaikan realitas yang
terjadi di masyarakat ketika menegakkan undang-undang atau peraturan.
Akibatnya, penegak “hukum” hanya menjadi corong dari aturan. Hal ini tidak lain
adalah dampak dari sistem pendidikan hukum yang lebih mengedepankan
positifisme. Penegak hukum seperti memakai kacamata kuda yang sama sekali
mengesampingkan fakta sosial. Inilah cara ber”hukum” para penegak hukum tanpa
nurani dan akal sehat.
Keterpurukan praktik
ber”hukum” di negara kita ini yang mewujudkan dalam berbagai realitas
ketidakadilan hukum, terutama yang menimpa kelompok masyarakat miskin. Sudah
saatnya kita tidak sekedar memahami dan menerapkan hukum secara
legalistic-positivistic, yakni cara ber”hukum” yang berbasis pada peraturan
hukum tertulis semata (rule bound), tapi perlu melakukan terobosan hukum, yang
dalam istilah Satjipto Raharjo (2008), disebut sebagai penerapan hukum
progresif. Dan salah satu aksi progresivitas hukum, adalah berusaha keluar dari
belenggu atau penjara hukum yang bersifat positivistik dan legalistik. Dengan
pendekatan yuridis-sosiologis, diharapkan selain akan memulihkan hukum dari
keterpurukannya, juga yang lebih riil, pendekatan yuridis-sosiologis diyakini
mampu menghadirkan wajah keadilan hukum dan masyarakat yang lebih substantif.
Untuk itu diperlukan penegak
hukum yang berintegritas dan berkomitmen tinggi untuk melakukan penegakan hukum
khususnya dalam upaya pemberantasan korupsi. Artinya polisi, jaksa, dan
hakimnya juga harus benar-benar bersih terutama pimpinannya. Jangan sampai
kejadian tahun perseteruan KPK vs Polri terulang lagi. Karena penegak hukum
yang bersih merupakan modal yang sangat kuat dalam penegakan hukum yang
didambakan. Ibaratnya menyapu ruangan yang kotor tentulah dengan sapu yang
bersih.
BAB III
PENUTUP
Masalah penegakan hukum di
Indonesia merupakan masalah yang sangat serius dan akan terus berkembang jika
unsur di dalam sistem itu sendiri tidak ada perubahan, tidak ada reformasi di
bidang itu sendiri. Karakter bangsa Indonesia yang kurang baik merupakan aktor
utama dari segala ketidaksesuaian pelaksanaan hukum di negari ini. Perlu
ditekankan sekali lagi, walaupun tidak semua penegakan hukum di Indonesia tidak
semuanya buruk, Namun keburukan penegakan ini seakan menutupi segala keselaran
hukum yang berjalan di mata masyarakat. Begitu banyak kasus-kasus hukum yang
silih berganti dalam kurun waktu relatif singkat, bahkan bersamaan
kejadiaannya. Perlu ada reformasi yang sebenarnya, karena permasalahan hukum
ini merupakan permasalahan dasar suatu negara, bagaimana masyarakat bisa
terjamin keamanannya atau bagaimana masyarakat bisa merasakan keadilan yang
sebenarnya, hukumlah yang mengatur semua itu, dan perlu digaris-bawahi bahwa
hukum sebanarnya telah sesuai dengan kehidupan masyarakat, tetapi pihak-pihak
yang ingin mengambil keuntungan baik pribadi maupun kelompok merupakan
penggagas segala kebobrokan hukum di negeri ini.
Perlu banyak evaluasi-evaluasi
yang harus dilakukan, harus ada penindaklanjutan yang jelas mengenai penyelewengan
hukum yang kian hari kian menjadi. Perlu ada ketegasan tersendiri dan kesadaran
yang hierarki dari individu atau kelompok yang terlibat di dalamnya. Perlu
ditanamkan mental yang kuat, sikap malu dan pendirian iman dan takwa yang sejak
kecil harus diberikan kepada kader-kader pemimpin dan pelaksana aparatur negara
atau pihak-pihak berkepentingan lainnya. Karena baik untuk hukum Indonesia,
baik pula untuk bangsanya dan buruk untuk hukum di negeri ini, buruk pula
konsekuensi yang akan diterima oleh masayarakat dan Negara.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar